Jln. S. Parman No. 2 | (0736) 7345695 | bengkulu@kejaksaan.go.id

EVEKTIVITAS PERAMPASAN ASET TANPA TUNTUTAN PIDANA (NON-CONVICTION BASED (NCB) ASSET FORFEITURE SEBAGAI TEROBOSAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Lainnya | 24 Agustus 2024 | 182 kali Dilihat

ABSTRAK

 

Persoalan korupsi masih menjadi bahsan yang penting di Indonesia, menghadapi persoalan tersebut penegak hukum seharusnya tidak hanya terfokus pada penggunaan instrumen undang-undang korupsi saja tetapi harus lebih luas lagi dengan memasukan sistem perampasan aset yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset hasil tindak pidana melalui suatu mekanisme gugatan terhadap aset yang berasal dari tindak pidana untuk dapat menekan kejahatan korupsi di Indonesia. Penelitian ini berjenis yuridis normatif, sumber data yang digunakan yaitu data sekunder. Data yang diperoleh diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif sehingga mampu menjawab permasalahan. Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana atau Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan efesiensi perampasan aset  tindak pidana korupsi karena dapat membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan aset-aset lain yang patut diduga telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana korupsi dan perampasan Aset berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi senyatanya belum mampu secara efektif mengembalikan aset hasil tindak pidana korupsi karena terdapat beberapa kelemahan dalam prosesnya, manakala tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, dan sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya sehingga perkaranya tidak dapat dilanjutkan.

 

Kata Kunci : Korupsi, Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana

 

A.       PENDAHULUAN

 

            I.      Latar Belakang Penelitian

Praktik korupsi sudah terjadi hampir disetiap lapisan birokrasi, baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif serta telah menjalar sampai kedunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi merupakan penyakit yang sudah kronis sehingga sangat sulit untuk mengobatinya. Gambaran terjadinya praktik korupsi di Indonesia setidaknya tercermin dalam indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan lembaga survey, diantaranya Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Indeks) yang dikeluarkan oleh Transparancy International dan Poltically and Economic Risk Consultancy (PERC). Survei yang dilakukan oleh Transparancy International menunjukan Negera Indonesia pada tahun 2017 berada diangka 37 dengan rangking 96 dan merupakan angka yang sama pada tahun 2016 yang lalu.[1] Sedangkan berdasarkan hasil survey oleh Indonesia Curruption Watch (ICW) mencatat hingga pertengahan tahun 2017 terdapat 315 perkara tindak pidana korupsi dengan 348 terdakwa diawal semester pertama tahun 2017.

Berikut juga data penanganan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Republik Indonesia :

TABEL I

REKAPITULASI PENANGANAN PERKARA KORUPSI

YANG DILAKUKAN KPK PERJUNI 2018[2]

 

Penindakan

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Penyelidikan

23

29

36

70

70

67

54

78

77

81

80

87

96

Penyidikan

2

19

27

24

47

37

40

39

48

70

56

57

99

Penuntutan

2

17

23

19

35

32

32

40

36

41

50

62

76

Inkracht

0

5

14

19

23

37

34

34

28

40

40

38

71

Eksekusi

0

4

13

23

24

37

36

34

32

44

48

38

81

Sumber : acch.kpk.go.id

Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Oleh karena itu, harus digunakan terobosan baru yakni dengan metode Follow the Money mengikuti dan mengetahui jejak rekam harta kekayaan hasil dari tindak pidana asal.

Terdapat beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan perampasan aset dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi salah satunya terkait dengan pemberlakukan pasal 18 dalam UU PTPK yang belum dapat berjalan secara efektif karena batasan kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan pembuktian terhadap perkara tindak pidana korupsi, seperti dalam kaitan dengan penyitaan terhadap harta terpidana belum secara tegas diatur dalam undang-undang sehingga Jaksa Penuntut Umum belum memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk melakukan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga telah mengatur kemungkinan penggunaan gugatan perdata yakni dalam pasal 32, pasal 33 dan 34. Dalam hal terdakwa atau tersangka meninggal dunia atau tidak bisa dilanjutkannya penuntutan karena tidak cukup bukti meskipun sudah terdapat kerugian keuangan Negara penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Penggunaan gugatan perdata ini dapat mengalami kegagalan disebabkan gugatan perdata bersifat menunggu yaitu diajukan setelah proses pidana tidak mungkin dilakukan. Hambatan yang akan dihadapi Jaksa Pengacara Negara dalam melakukan gugatan perdata perkara tindak pidana korupsi antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang menganut asas pembuktian formal.[3] Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materil maka proses perdata menganut sistem pembuktian formal yang dalam praktiknya lebih sulit daripada pembuktian materil.

Melihat fakta ini maka sistem perampasan aset hasil tindak pidana melalui mekanisme gugatan terhadap aset tindak pidana yang dikenal dengan Non-Conviction Bases (NCB) Asset Forfeiture atau Civil Forfeiture yang didasarkan pada United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (Proceed of crimes) dan aset-aset lainnya yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana. Hal tersebut, menjadi sesuatu yang penting dan menarik untuk dibahas, kemudian diteliti dan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah tesis  dengan judul : “Efektivitas Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based (Ncb) Asset Forfeiture) Sebagai Terobosan Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”.

         II.      Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam permasalahan ini sebagai berikut :

1.   Bagaimana Kebijakan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana atau Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture sebagai terobosan untuk mengembalikan aset yang telah dikorupsi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ?

2.   Apakah terhadap perampasan aset yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah efektif dalam mengembalikan aset dari tindak pidana korupsi di Indonesia ?

B.       METODE PENELITIAN

 

Metode Penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah jenis penelitian yuridis normatif selanjutnya terhadap data yang diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Selanjutnya dari analisis data yang telah dilakukan ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu langkah-langkah yang harus diambil yang sifatnya umum yang didasarkan pada fakta-fakta dan gejala-gejala kepada yang sifatnya khusus, kemudian dari kesimpulan yang diperoleh akan diajukan saran-saran sebagai alternatif pemecahan masalah dalam tindak pidana korupsi.

C.       HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

1.   Kebijakan Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana atau Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture Sebagai Terobosan Dalam Pengembalian Aset Yang Telah Dikorupsi Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.  

1.1.      Konsep Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture)

Secara umum, ada dua jenis perampasan yang diterapkan secara internasional, yaitu: Perampasan Kejahatan (Perampasan Pidana) dan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Jaksa sebagai Pengacara Negara mengajukan gugatan perampasan terhadap harta tersebut ke pengadilan. Apabila temyata kemudian diketahui masih ada harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan dalam proses pidana, maka gugatan perdata dimungkinkan dengan  melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

Ada kekhawatiran penggunaan hukum acara perdata yang formil akan mengakibatkan Jaksa Pengacara Negara dalam upaya pembuktian mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan dia harus membuktikan mengenai dalil harta kekayaan Tergugat sebagai obyek gugatan yang akan dirampas adalah harta yang ada kaitannya dengan kerugian negara dalam suatu putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Negara berada pada posisi sulit dan tidak mudah untuk membuktikannya.

Sebaliknya terhadap perampasan harta kekayaan dengan konsep Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture, Jaksa Pengacara Negara dalam gugatannya cukup mendalilkan bahwa harta kekayaan obyek gugatan ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Kemudian tergugat selaku yang menguasai harta kekayaan itu yang merasa keberatan terhadap tindakan perampasan aset akan membuktikan kepada pengadilan bahwa harta kekayaan obyek gugatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi atau tidak bersumber dari tindak pidana korupsi tersebut.

Selanjutnya Konsep kunci dalam Non Conviction Based Asset Forfeiture sejalan dengan pendapat menurut Theodore S. Greeberg, dkk, adalah:[4]

1)     Non Conviction Based Asset Forfeiture seharusnya tidak pernah menjadi pengganti penuntutan pidana.

Non Conviction Based Asset Forfeiture tidak digunakan sebagai alternatif untuk penuntutan pidana ketika hukum pidana memiliki kemampuan untuk menindak pelaku kejahatan. Namun Non Conviction Based Asset Forfeiture justru melengkapi penuntutan pidana dan penghukuman pidana.Non Conviction Based Asset Forfeiture dapat mendahului atau bersamaan atau setelah penuntutan pidana.

2)     Harus ditetapkan keterkaitan antara sebuah kasus Non Conviction Based Asset Forfeiture dengan setiap proses peradilan pidana, termasuk investigasi yang akan dilakukan. Oleh karena Non Conviction Based Asset Forfeiture dipicu oleh adanya kejahatan sehingga mungkin saja ada keadaan dimana investigasi dengan penuntutan pidana berjalan sejajar atau berbenturan dengan Non Conviction Based Asset Forfeiture. Namun demikian yang patut dipahami bahwa Non Conviction Based Asset Forfeiture bukanlah suatu “penghukuman” dan bukan sebuah proses peradilan pidana.

3)     Non Conviction BasedAsset Forfeiture harus tersedia apabila penuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil. Penuntutan pidana bisa saja tidak tersedia karena pelaku telah meninggal dunia, atau telah melarikan diri, atau memiliki kekebalan terhadap penuntutan pidana, padahal penyidikan sedang dilakukan atau penuntutan sedang dijalankan atau telah dinyatakan bersalah oleh peradilan pidana. Penuntutan pidana bisa juga tidak berhasil karena pelaku dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum namun pelaku tidak bisa membuktikan sumber harta kekayaannya, maka Non Conviction Based Asset Forfeiture masuk sebagai jalan untuk merampas harta tercemar tersebut.

4)     Pembuktian dan prosedural yang berlaku harus serinci mungkin. Peraturan administrative dan prosedur harus mencakup yang berikut:

a.      Investigasi,

b.     Penelusuran yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk memberikan substansi pada kasusnya,

c.      Penahanan dan Perampasan aset, termasuk didalamnya jangka waktu serta kemampuan untuk memperpanjang secara hukum,

d.     Perampasan,

e.      Pengelolaan aset,

f.      Kerjasama internasional.

 

1.2.      Proses Permohonan Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based Asset Forfeiture-NCB) Di Pengadilan

Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non Conviction Based Asset Forfeiture-NCB), adalah perampasan perdata yang tidak mewajibkan adanya putusan pidana. Permohonan perampasan aset tanpa pemidanaan dapat dilakukan setelah penyidik atau penuntut umum melakukan pemblokiran dan/atau penyitaan. Setelah dokumen dan pemberkasan lengkap maka penuntut umum selaku Jaksa Pengacara Negera segera menyerahkan berkas tersebut kepada Pengadilan Negeri.

Permohonan perampasan itu sendiri harus berupa daftar yang memuat dengan rinci aset apa saja yang akan dimintakan perampasan, berapa nilainya, serta siapa saja yang menguasai aset tersebut.Selanjutnya acara sidang yang digunakan dengan hukum acara perdata biasa namun dengan prosesnya yang lebih disederhanakan seperti contoh adanya pembatasan pada waktu saat jawab menjawab, pengajuan pembuktian dapat bersamaan dengan pengajuan gugatan dan pengajuan keberatan, ataupun penundaan persidangan yang tidak berlarut-larut

Pembuktian yang dilakukan dalam proses acara Non-Conviction Based Asset Forfeiture dimana Jaksa Pengacara Negara mengajukan permohonannya, sekaligus dengan pengajuan alat bukti surat yang akan membuktikan dalil permohonan perampasan aset tersebut yang dapat langsung ditanggapi oleh Termohon dalam jawabannya sekaligus mengajukan bukti bantahannya. Dalam hal bahwa masing-masing pihak telah selesai membuktikan dalil-dalilnya, maka Hakim selanjutnya menjatuhkan putusannya apakah mengabulkan atau menolak permohonan perampasan aset yang diajukan oleh Jaska Pengacara Negara dengan memberikan pertimbangan dan dasar-dasar hukumnya. Apabila permohonan Jaksa Pengacara Negara dikabulkan, maka putusannya menyatakan aset tersebut untuk negara, sedangkan bila permohonan ditolak maka putusannya menyatakan aset dikembalikan kepada yang berhak.

A.    Evektivitas Perampasan Aset Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mengembalikan Aset Dari Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan dua jalan atau dua cara berkenaan dengan perampasana aset hasil tindak pidana yaitu perampasan melalui jalur pidana dan perampasan melalui gugatan perdata.

a.   Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Jalur Tuntutan Pidana (Criminal Forfeiture).

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memungkinkan dilakukannya perampasan terhadap aset hasil korupsi atau sarana korupsi melalui jalur tuntutan pidana jika penuntut umum dapat membutikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dan aset-aset yang telah disita dalam perkara dimaksud merupakan hasil kejahatan tindak pidana korupsi. Dalam membuktikan kesalahan terdakwa dipersidangan sering kali penuntut umum mengalami kesulitan dan hambatan dikarenakan modus kejahatan korupsi menggunakan cara-cara yang canggih ditambah lagi dengan tingginya standar pembuktian yang harus dipenuhi (beyond reasonable doubt). Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan tidak mudah bagi Penuntut Umum untuk mendapatkan keberhasilan dalam penanganan perkara korupsi. Oleh karena itu, upaya perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur tuntutan pidana haruslah dilakukan oleh Penuntut Umum yang cerdas, teliti dam mempunyai pengetahuan yang cukup tinggi.

Sementara Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dalam melakukan Pelaksanaan perampasan harta kekayaan atau aset melalui proses pidana tidak dapat dilakukan, yang bisa diakibatkan oleh beberapa hal, antara lain :

a.    Pemilik aset telah meninggal dunia;

b.   Berakhirnya proses pidana karena terdakwa bebas;

c.    Penuntutan pidana terjadi dan berhasil tetapi pengambilalihan aset tidak berhasil

d.   Terdakwa tidak berada dalam batas jurisdiksi, nama pemilik aset tidak diketahui;

e.    Tidak ada bukti yang cukup untuk mengawali gugatan pidana

Selain itu, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana  melalui jalur pidana sering kali sulit untuk diterapkan. Hal ini disebabkan karena alasan, antara lain :

a)   Tingginya standar pembuktian yang dipenuhi (beyond Reasonable Doubt atau Negative Wattelijk Stelsel) sebagaimana dimaksud pasal 183 ayat (2) KUHAP;

b)   Sulitnya mendapatkan alat bukti yang mendukung bagi Penuntut Umum;

c)   Sering kali saksi-saksi yang telah diperiksa ditingkat penyidik merubah keterangannya didepan persidangan dengan berbagai alasan;

d)   Sulitnya mendapatkan ahli yang kompeten.

b.   Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata (Civil forfeiture).

Ketentuan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi melalui jalur gugatan perdata dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  merupakan jalan alternatif manakala perampasan aset tersebut melalui jalur tuntutan pidana tidak dapat dilakukan, seperti tersangka atau terdakwanya meninggal dunia menyebabkan hilangnya kewenangan bagi Penuntut Umum untuk menuntut sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 KUHP.

Salah satu contoh kasus korupsi yang menjerat Presiden ke-2 Soeharto terkait dengan penggunaan uang Negara oleh tujuh yayasan yang diketuainya, dengan senilai Rp. 4.014.000.000.000,- (empat triliun empat belas milyar rupiah).[5] Pada tahun 2000, Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto dihentikan karena alasan kesehatan. Selanjutnya Kejaksaan Agung melakukan Gugatan perdata terhadap Soeharto untuk membayar ganti rugi materil sebesar 400.000.000 dollar AS (empat ratus juta dollar Amerika) dan Rp. 185.900.000.000,- (seratus delapan puluh lima milyar Sembilan ratus juta rupiah) serta mengganti kerugian immaterial Rp. 10.000.000.000.000,- (sepuluh triliun rupiah). Pada saat kasus tersebut memasuki tahap akhir pada tanggal 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia sehingga secara hukum posisinya digantikan oleh ahli waris. Setelah memakan waktu proses pidana yang cukup panjang selama 8 tahun, pada tanggal 23 Maret 2008 hakim menyatakan Soeharto tidak terbukti merugikan keuangan Negara secara melawan hukum. Sehingga Negara kehilangan momentum atau kesempatan untuk merampas aset koruptor. Secara yuridis prosedur kegagalan gugatan tersebut disebabkan gugatan perdata yang bersifat menunggu dan proses pidana yang tidak mungkin lagi dilakukan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum dapat secara optimal untuk mengembalikan kerugian keuangan Negara yang diakibatkan perbuatan korupsi pelaku karena biasanya Jaksa Pengacara Negara atau Instansi yang dirugikan mengalami  kesulitan atau hambatan yang disebabkan antara lain :

a)   Adanya prinsip pihak yang menggugat dalam suatu hal harus membuktikan kebenaran gugatannya;

b)   Alat bukti yang digunakan bersifat formal, misalnya : bukti kepemilikan yang kuat terhadap suatu aset berupa tanah adalah sertifikat sehingga sepanjang sertifikat tersebut belum pernah dicabut atau dibatalkan, maka pihak penggugat (Jaksa Penuntut Umum) harus mempunyai alat bukti lain yang tidak kalah kuat atas pembuktiannya disbanding sertifikat tersebut;

c)   Masih dianutnya paradigma yang bersifat formal dalam suatu surat gugatan misalnya, jumlah tergugat tidak boleh kurang dan masing-masing tergugat harus dijelaskan peran dan kesalahan mereka;

d)   Dasar gugatan dalam perkara perdata sangat limitative, yaitu melawan hukum dalam hal ini pihak penggugat harus mampu membuktikan ketentuan atau norma mana yang telah dilanggar oleh pihak tergugat dank arena wanprestasi, dalam hal ini penggugat harus dapat membuktikan perjanjian mana yang tidak ditepati oleh pihak penggugat;

e)   Dibutuhkan waktu yang panjang untuk penyelelsaiannya;

f)    Pelaksanaan eksekusi atas gugatan tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung oleh penggugat melainkan oleh juru sita pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.

D.       PENUTUP

 

            I.      KESIMPULAN

1.    Kebijakan Perampasan Aset dengan konsep Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture dapat dijadikan sebagai terobosan dalam memulihkan atau mengembalikan aset yang telah dikorupsi. Pembuktian yang dilakukan dalam Non-Conviction Based Asset Forfeiture, berupa pembuktian dengan proses acara perdata formil sederhana. Kemudian Jaksa Pengacara Negara mengajukan gugatan ke Pengadilan dengan mendalilkan bahwa harta kekayaan obyek gugatan ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi dan tergugat selaku pihak yang menguasai aset berkewajiban membuktikan di pengadilan terkait aset yang menjadi obyek gugatan apakah ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi atau tidak sampai akhirnya Hakim mengambil suatu kesimpulan dalam putusannya bahwa aset yang tidak dapat dibuktikan oleh pelaku haruslah dirampas untuk menjadi Aset Negara karena bersumber dari penghasilan yang tidak sah.

2.    Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana atau Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture dapat menjadi terobosan untuk memulihkan dan mengembalikan aset atau hasil tindak pidana korupsi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia  karena membuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan aset-aset lain yang patut diduga telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana korupsi sehingga walaupun tersangka atau terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya perampasan aset koruptor dapat dilakukan karena prosesnya melalui pemeriksaan pengadilan.

A.      SARAN

1.       Mengingat perampasan aset merupakan bagian penting maka pemerintah perlu membuat dan mengesahkan suatu undang-undang yang memuat kebijakan perampasan aset tanpa tuntutan pidana.

2.       Perlu adanya komitmen yang kuat dan kesungguhan dari aparat penegak hukum diseluruh daerah dalam menangani tindak pidana korupsi terutama dalam hal proses perampasan aset dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia    



[2]       https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi, diakses pada hari pada hari Senin tanggal 13 Agutus 2018

[3]      Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Keuangan Negara Dalam Korupsi”, www.duniaesai.com/hukum/hukum3.html, diakses tanggal 28 Oktober 2018

[4]      Theodore S. Greenberg, dkk, Ibid, hal. 27-34.